Globalisasi diartikan sebagai negara tanpa batas, liberalisasi ekonomi, perdagangan bebas dan intergrasi ekonomi dunia. Menurut prespektif ekonomi, globalisasi merupakan pengintegrasian ekonomi secara global. Secara lebih luas globalisasi ekonomi berarti tidak ada batas-batas negara dalam transaksi ekonomi. Artinya lalu lintas barang dan jasa menjadi bebas tanpa hambatan untuk berpindah clan satu negara ke negara lain. Tidak ada lagi hambatan-hambatan bisnis atau perdagangan internasional balk dalam bentuk tarif (tariff barries) maupun non tarif (non-tariff barriers).[1]
Kondisi ekonomi Indonesia:
Proses globalisasi ekonomi ditandai dengan terjadinya transaksi antarnegara (ekspor-impor). Indonesia cukup lambat melakukan serangkaian upaya perdagangan luar negeri dibandingkan negara tetangga Malaysia dan Singapura. Jika kedua negeri jiran tersebut mulai menggencarkan perdagangannya pada tahun 1970-an maka Indonesia baru melakukannya pada tahun 1980-an. Alasan Indonesia memicu perdagangan luar negeri adalah jatuhnya harga minyak dunia yang menyebabkan Indonesia tidak dapat mengandalkan devisa dari perdagangan minyak semata.
Pemerintah pun melakukan serangkaian deregulasi di bidang moneter (dan keuangan), fiskal, perdagangan (dan perkapalan), dan investasi untuk meningkatkan penerimaan dari sektor non migas. Pemerintah ingin melakukan restrukturisasi ekonomi, yaitu dengan mengubah ketergantungan pada satu komoditi (minyak) menjadi banyak komoditi (diversifikasi ekspor non-migas), mobilisasi dana dalam negeri (tabungan dan pajak), serta mengurangi campur tangan pemerintah di banyak sektor yang dianggap menghambat kemajuan dunia usaha (Kuncoro, 2003:446-445).
Keikutsertaan Indonesia dalam globalisasi ekonomi mungkin tidak berakibat buruk jika Indonesia memang mampu secara cepat melakukan penyesuaian-penyesuaian ekonomi sehingga perekonomian menjadi lebih efisien dan daya saingnya meningkat. Bahkan, jika siap, pasar Indonesia menjadi lebih luas yang akan mendorong kegairahan ekonomi domestik. Masalahnya adalah kita tidak memiliki daya saing nasional di tengah pasar global karena praktik kolusi, korupsi dan nepotisme yang terjadi di seluruh bidang kehidupan terutama pada bidang ekonomi.
Berdasarkan hasil perhitungan Incremental Capital Output Ratio (ICOR) Indonesia relatif tinggi jauh di atas negara-negara seperti Singapura, Malaysia, Thailand atau Filipina. Penilaian ICOR tersebut menggambarkan untuk memperoleh output yang sama kita membutuhkan input yang lebih besar. Jadi jika pasar input juga bebas maka kita tidak dapat bersaing di pasar ASEAN terlebih pasar dunia. Kita umumnya memiliki daya saing atas produk-produk primer atau industri karena ditopang input yang murah seperti produk-produk yang bersifat padat karya karena upah buruh murah.
Dalam kondisi seperti itu, kita sulit menembus pasar global. Bahkan pasar domestik pun bisa hilang jika situasi tersebut tidak berubah. Sebuah penelitian dari OECD & IBRD (1994) menyimpulkan bahwa antara banyak negara anggota WTO, Indonesia merupakan anggota yang paling banyak menderita kerugian karena adanya liberalisasi perdagangan dunia (2002).
Indonesia pun mengalami masalah yang sangat berat yakni krisis ekonomi yang telah terjadi sejak tahun 1997. Dampak dari krisis tersebut adalah inflasi yang sangat tinggi sehingga daya beli masyarakat merosot lebih dari separuhnya, nilai tukar rupiah yang anjlok, pengangguran yang meluas, kemiskinan bertambah. pertumbuhan ekonomi yang rendah, dan penggunaan kapasitas produksi yang rendah. Masalah tersebut diperberat oleh utang luar negeri (pemerintah dan swasta) yang sangat besar, dan daya saing produk domestik yang rendah di luar negeri, sehingga ekspor merosot.
Dalam praktik, sangat mudah melihat bagaimana dengan keterbukaan ekonomi ini berbagai produk multinasional menyerbu pasar di seluruh dunia, termasuk pasar-pasar di negara miskin. Produk minuman ringan, misalnya, yang pada masa lalu cukup banyak yang buatan lokal di Indonesia, saat ini sudah tergantikan oleh produk Coca Cola dan sejenisnya. Demikian pula produk makanan seperti ayam goreng yang saat ini sudah ada beberapa franchise internasional yang masuk ke kota-kota besar di Indonesia. Makanan seperti pizza, juga semakin akrab di lidah masyarakat Indonesia dan menjadi kompetitor yang mengancam produk lokal. Dalam pengecer barang kebutuhan sandang dan kebutuhah sehari-hari, department store dan super (hyper) market juga sudah masuk ke kota-kota besar. Dan tidak jarang membangun jaringan sampai ke kota kecil. Hal ini menjadi ancaman bagi unit-unit usaha lokal yang bermodal kecil.
Tentunya berdasarkan penjabaran diatas, Indonesia masih belum dapat dikatakan siap dalam menghadapi globalisasi. Namun, Indonesia sudah melakukan beberapa persiapan atau strategi yang diantaranya:[2]
1. Pemberdayaan ekonomi
Eksistensi UMKM memang tidak dapat diragukan lagi karena terbukti mampu bertahan dan menjadi roda penggerak ekonomi, terutama pasca krisis ekonomi. Disisi lain, UMKM juga menghadapi banyak sekali permasalahan, yaitu terbatasnya modal kerja, Sumber Daya Manusia yang rendah, dan minimnya penguasaan ilmu pengetahuan serta teknologi (Sudaryanto dan Hanim, 2002).
Terdapat enam hal yang menjadi prioritas strategi bagi UMKM dalam usaha meningkatkan kinerjanya.
Pertama, mempermudah UMKM untuk mengakses permodalan. Kedua, memperluas jaringan pemasaran. Ketiga, meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Keempat, tersedianya sarana dan prasarana usaha yang memadai. Kelima, terciptanya iklim usaha yang kondusif, dan keenam, teknologi yang tepat guna.
2. Perbaikan Infrastruktur
Infrastruktur memegang peranan penting sebagai salah satu roda penggerak pertumbuhan ekonomi. Ini mengingat gerak laju dan pertumbuhan ekonomi suatu negara tidak dapat dipisahkan dari ketersediaan infrastruktur seperti transportasi, telekomunikasi, sanitasi, dan energi. Oleh karena itu, pembangunan sektor ini menjadi fondasi dari pembangunan ekonomi selanjutnya. Tapi faktanya bertahun-tahun saat ini perkembangan
infrastruktur yang diharapkan selalu berkembang lebih baik di Indonesia malah sangat mencemaskan, sebagai contoh pergerakan barang hampir pada posisi terkunci karena kondisi infrastruktur sangat parah dan sistem logistik yang sangat rapuh. Dengan melihat informasi di berita dan berfikir sejenak ternyata pertumbuhan ekonomi Indonesia 2 tahun terakhir naik sekitar 6 persen, bahkan menurut berita Indonesia sebagai salah satu Negara terbaik yang mampu melewati masa-masa krisis dunia. Akan tetapi tidak dibarengi dengan kenaikan kapasitas infrastruktur, yang ada perkembangan infrastruktur menjadi minus karena kerusakan infrastruktur yang sudah ada diperparah oleh alam yang tidak bersahabat.
Upaya lainnya yang dilakukan Indonesia dalam menghadapi globalisasi:[1]
Pasar bebas baik di ranah regional melalui AEC maupun di tingkat internasional melalui WTO sudah menjadi keniscayaan. Indonesia harus mempersiapkan diri untuk menghadapinya jika tidak mengharapkan permasalahan ekonomi menghinggapi dikemudian hari karena tidak lakunya produk dalam negeri Indonesia di pasar global, atau lebih parah lagi dengan membanjirnya produk asing di dalam negeri, produk lokal juga tidak laku di pasar dalam negeri sendiri. Apa yang harus dipersiapkan Indonesia? Darimana memulainya? Memang suatu pertanyaan yang sudah terlambat kalau Indonesia masih berfikir tentang jawabannya. Pertanyaan ini adalah pertanyaan rencana, sedangkan AEC sudah didepan mata yang sudah memerlukan tindakan bahkan kesiapan infrastruktur untuk menghadapinya. Namun keterlambatan bukan berarti menyerah dan membiarkannya berjalan apa adanya, Indonesia harus segera bangkit dan melakukan semua persiapan dengan cepat.
Sistem pemerintahan otonom yang diterapkan Indonesia, membagi pemerintahan menjadi dua yaitu pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Peran keduanya diperlukan dalam mempercepat persiapan menghadapi pasar bebas. Langkah yang harus dilakukan pemerintah pusat diantaranya, pertama, mempersiapkan peran kelembagaan ekonomi dalam perekonomian nasional seperti standarisasi produk yang diikuti dengan kebijakan untuk mendorong produk unggul yang masuk ke pasar bebas dan melindungi atau mengembangkan produk lokal lain untuk memenuhi standar yang berlaku di pasar bebas. Kedua, perlindungan konsumen, karena konsumen memerlukan rasa aman dan nyaman ketika memilih produk sehingga Indonesia perlu meyakinkan konsumen bahwa produk Indonesia aman digunakan. Sedangkan untuk pemerintah daerah, beberapa langkah yang perlu dilakukan adalah pertama, peningkatan pemahaman masyarakat tentang pasar bebas untuk skup internasional dan AEC untuk skup ASEAN; kedua, perbaikan iklim investasi dan iklim usaha di daerah; ketiga, peningkatan infrastruktur daerah;
keempat, peningkatan daya saing produk ekspor unggulan daerah; kelima, peningkatan kualitas SDM daerah.
Selain beberapa strategi diatas, strategi lain yang mendukung penguatan untuk menghadapi persaingan bebas adalah melakukan sinergi dan sinkronisasi antara strategi dan program pemerintah dengan strategi dan program swasta dalam mencermati dan memanfaatkan peluang pasar ASEAN (Bappenas, 2013) serta menciptakan iklim ketenagakerjaan daerah yang lebih kondusif.
Sumber:
1. Hamid, Edy Suandi. (2020). Perekonomian Indonesia (BMP). Tanggerang Selatan: Universitas Terbuka
2. Murhayati, Dies. Strategi Indonesia dalam menghadapi tantangan global dibidang ekonomi. Diakses melalui https://jurnal.yudharta.ac.id/v2/index.php/HERITAGE/article/view/819/673
Komentar
Posting Komentar