Masalah Kependudukan[2]
Di kalangan para pakar pembangunan telah ada konsensus bahwa laju pertumbuhan penduduk yang tinggi tidak hanya berdampak buruk terhadap suplai bahan pangan, namun juga semakin membuat kendala bagi pengembangan tabungan, cadangan devisa, dan sumberdaya manusia (Meier, 1995: h.276-281). Setidaknya terdapat 3 alasan mengapa pertumbuhan penduduk yang tinggi akan memperlambat pembangunan.
- Pertama, pertumbuhan penduduk yang tinggi akan mempersulit pilihan antara meningkatkan konsumsi saat ini dan investasi yang dibutuhkan untuk membuat konsumsi di masa mendatang semakin tinggi. Rendahnya sumberdaya per kapita akan menyebabkan penduduk tumbuh lebih cepat, yang pada gilirannya membuat investasi dalam 'kualitas manusia semakin sulit. Fakta menunjukkan bahwa aspek kunci dalam pembangunan adalah penduduk yang semakin terampil dan berpendidikan.
- Kedua, di banyak negara dimana penduduknya masih amat tergantung dengan sektor pertanian, pertumbuhan penduduk mengancam keseimbangan antara sumberdaya alam yang langka dan penduduk. Sebagian karena pertumbuhan penduduk memperlambat perpindahan penduduk dari sektor pertanian yang rendah produktifitasnya ke sektor pertanian modern dan pekerjaan modern lainnya. Di Kenya sebagai contoh, 70% angkatan kerja diperkirakan masih bekerja di sektor pertanian sampai dengan tahun 2025, dan jumlah pekerjanya akan dua kali lipat dari jumlah saat ini. Hasilnya, besar kemungkinan berlanjutnya tingkat pendapatan yang rendah bagi banyak keluarga, dan di banyak kasus menimbulkan tekanan terhadap sistem per- tanian tradisional dan kerusakan lingkungan, yang pada gilirannya mengancam kese- jahteraan penduduk miskin.
- Ketiga, pertumbuhan penduduk yang cepat membuat semakin sulit melakukan perubahan yang dibutuhkan untuk meningkatkan perubahan ekonomi dan sosial. Tingginya tingkat kelahiran merupakan penyumbang utama bagi pertumbuhan kota yang cepat. Bermekarannya kota-kota di NSB (Negara Sedang Berkembang) membawa masalah-masalah baru dalam menata maupun mempertahankan tingkat kesejahteraan warga kota. Faktor utama dibalik penurunan angka kelahiran adalah keberhasilan program keluarga berencana (KB). Singarimbun (1996: bab 1-4) mengidentifikasi faktor penopang keberhasilan KB adalah: (1) prioritas yang tinggi dan keterlibatan pemerintah yang besar untuk kesuksesan program itu; (2) adanya perubahan nilai mengenai anak. yaitu dari norma keluarga besar menjadi norma keluarga kecil; (3) manajemen program yang baik lewat koordinasi antar departemen oleh BKKBN (Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional).
Pengangguran[1]
Anggaran yang disediakan pemerintah untuk pendidikan sangat kecil sehingga tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan pendidikan. Rendahnya kualitas manusia Indonesia dapat dilihat berdasarkan lama bersekolah. Penduduk Indonesia rata-rata hanya bersekolah selama 6 - 7 tahun berdasarkan perhitungan HDI tahun 1999. Di era Otonomi Daerah seperti sekarang ini, anggaran yang diberikan pemerintah daerah terhadap sektor pendidikan tidak jauh berubah. Di Sumatera Barat, anggaran pemerintah untuk pendidikan dan kesehatan hanya 8,2 persen sedangkan di Jawa Timur anggaran untuk sektor yang sama hanya 13,7 persen. Artinya pelaksanaan otonomi daerah ternyata belum membawa banyak manfaat bagi pembangunan manusia Indonesia.
Anggaran pendidikan yang rendah tentu saja mempengaruhi kualitas pendidikan. Pendidikan yang rendah tersebut akan berdampak pada kemampuan dan kreativitas peserta didik. Akibatnya angkatan kerja tidak memenuhi kualifikasi yang diinginkan dunia kerja dan tidak memiliki kemampuan membuka peluang usaha. Padahal di sisi lain kurikulum di Indonesia juga mendapat banyak kritik karena tidak sesuai dengan kebutuhan dunia kerja dan menciptakan pola pikir sebagai pekerja bukan sebagai inisiator. Akibatnya penduduk yang telah mendapatkan pendidikan menengah dan tinggi sekalipun tidak dapat siap bekerja di berbagai sektor pekerjaan. Ketidaksesuaian antara kebutuhan dan kualifikasi angkatan kerja yang ada membuat dunia kerja seringkali mendatangkan tenaga kerja asing yang tentu saja merugikan bangsa Indonesia.
Persoalan pendidikan yang buruk di atas mengakibatkan persoalan kependudukan yang baru yaitu pengangguran. Berdasarkan data BPS terdapat 10 persen angkatan kerja di Indonesia menganggur. Dari jumlah itu sebagian. besar penganggur lebih dari 75 persennya tinggal di perkotaan. Hal ini terjadi karena sebagian besar orang melihat kota adalah pusat pertumbuhan ekonomi. Artinya ada banyak kesempatan bekerja, padahal industri di perkotaan gagal memperoleh dampak yang diinginkan seperti perluasan lapangan kerja. Akibat pola pikir semacam itu, terjadi urbanisasi besar- besaran yang berakibat meningkatnya pengangguran di kota dan kurangnya tenaga kerja pada sektor pertanian di desa. Angkatan kerja baru seringkali lebih menginginkan pekerjaan di sektor industri perkotaan karena dianggap lebih modern daripada bekerja di sektor pertanian di desa.
Kesehatan[1]
Persoalan lain yang harus diselesaikan bangsa ini menyangkut pembangunan manusia adalah masalah kesehatan. Setali tiga uang dengan sektor pendidikan, sektor kesehatan juga hanya mendapatkan porsi yang minim dalam anggaran pembangunan pusat dan daerah. Berdasarkan HDI tahun 1999, kondisi kesehatan masyarakat Indonesia sangat buruk. Penduduk Indonesia yang tidak memiliki akses terhadap air bersih mencapai 51,9 persen, sedangkan penduduk Indonesia yang tidak memiliki akses terhadap jasa kesehatan mencapai 21,6 persen. Akses tersebut meliputi ketersediaan dokter, obat-obatan dan sarana kesehatan lain. Fakta yang lebih memilukan adalah sebanyak 30 persen balita berada dalam gizi buruk. Padahal gizi di masa balita sangat penting bagi pertumbuhan di kemudian hari, karena pada masa-masa itu terjadi puncak perkembangan otak dan tubuh yang pesat.
Belakangan ini kita seringkali dikejutkan dengan berbagai masalah kesehatan yang mengkhawatirkan seperti penyakit flu burung, polio liar (lumpuh layu), dan gizi buruk yang menimpa balita di berbagai daerah di Indonesia. Diduga pemerintah hanya bertindak reaksioner dalam menghadapi berbagai masalah kesehatan seperti itu. Pemerintah tidak memiliki program yang berkesinambungan untuk menyelesaikan berbagai masalah kesehatan. Dana Kompensasi BBM sebagian memang diberikan pemerintah untuk memperbaiki kualitas kesehatan manusia baik melalui instansi kesehatan seperti Rumah Sakit dan Puskesmas maupun secara langsung diberikan kepada penduduk miskin. Namun jumlahnya belum memadai untuk menyelesaikan masalah kesehatan yang dihadapi bangsa ini.
Solusi menghadapi masalah pembangunan manusia:
Dalam konteks nasional, Menko PMK mengatakan bahwa Indonesia sejak 2012 hingga tahun 2042 berada dalam periode Bonus Demografi yang memiliki potensi untuk mengalami peningkatan kesejahteraan secara signifikan. Kesempatan emas dari bonus demografi, menurutnya, dapat dioptimalkan dengan empat syarat dan kalangan perguruan tinggi dapat berperan penting untuk mewujudkan keempat syarat itu, antara lain kualitas sumberdaya manusia yang tinggi, tersedianya lapangan pekerjaan yang layak, akumulasi tabungan nasional yang meningkat, dan adanya kesetaraan gender dan non-diskriminatif di pasar kerja.[3]
Dari sektor kesehatan, Menteri Kesehatan RI, Nila Farid Moeloek menyatakan, SDGs lebih menekankan pada 5P, yakni people (manusia), planet (planet), peace (perdamaian), prosperity (kemakmuran), dan partnership (kerjasama).
Seluruh isu kesehatan dalam SDGs diintegrasikan dalam satu tujuan, yakni tujuan nomor tiga, yang menjamin kehidupan yang sehat dan mendorong kesejahteraan bagi semua orang di segala usia. Fokusnya terhadap upaya penurunan angka kematian ibu (AKI) dan angka kematian bayi (AKB), pengendalian penyakit HIV/AIDS, dan malaria. Beberapa isu lain, di antaranya kematian akibat penyakit tidak menular (PTM); penyalahgunaan narkotika dan alkohol; kematian dan cedera akibat kecelakaan lalu lintas; asuransi kesehatan umum; dan kontaminasi dan polusi air, udara, dan tanah; serta penanganan krisis dan kegawatdaruratan. Pembangunan sektor kesehatan untuk SDGs sangat tergantung pada peran aktif seluruh pemangku kepentingan, baik pemerintah pusat, daerah, parlemen, dunia usaha, media massa, lembaga sosial kemasyarakatan, organisasi profesi dan akademisi, mitra pembangunan, dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).[3]
Disektor pendidikan, untuk meningkatkan partisipasi sekolah pada jenjang SMA/Sederajat, pemerintah perlu mengeluarkan kebijakan pendidikan dengan mengedepankan sudut pandang pelayanan publik. Pertama, pemerintah harus memiliki konsep standar biaya pendidikan yang jelas terutama untuk sekolah yang diselenggarakan pemerintah. Kedua, Pemerintah perlu memberikan kebebasan biaya pendidikan kepada masyarakat yang tidak mampu dengan menyiapkan instrumen yang jelas terhadap kategori masyarakat yang dianggap tidak mampu sehingga bantuan tersebut tepat sasaran. Ketiga, Pemerintah perlu mengkaji terhadap keberadaan Sekolah Kejuruan yang peminatnya sedikit dan mengambil langkah yang kontruktif untuk meningkatkan efektifitasnya.[4]
Hal lainnya yang dapat dilakukan pemerintah adalah:[1]
- Meningkatkan anggaran. pemerintah di bidang pendidikan dengan memenuhi porsi 20 %sari APBN/APBD.
- Meningkatkan anggaran pemerintah di bidang Kesehatan, sehingga dapat memudahkan keluarga miskin mempunyai akses di bidang kesehatan.
Sumber:
1. Hamid, Edy Suandi. (2020). Perekonomian Indonesia (BMP). Tanggerang Selatan: Universitas Terbuka
2. Kuncoro, Mudjarad. Masalah Pembangunan Manusia: dari Kependudukan, pengangguran, wanita, hingga Migrasi. Diakses melalui
https://journal.uii.ac.id/JEP/article/view/6794
3. Rokom. Solusi Membangun Manusia Indonesia. Diakses melalui https://sehatnegeriku.kemkes.go.id/baca/umum/20171025/3523491/solusi-membangun-manusia-indonesia/
4. Singgih Samsuri. Asisten Ombudsman RI. Penguatan Pembangunan Manusia dan Pelayanan Publik. Diakses melalui https://ombudsman.go.id/artikel/r/artikel--penguatan-pembangunan-manusia-dan-pelayanan-publik
Komentar
Posting Komentar